Apa sebenarnya penyebab terjadinya kerusakan lingkungan?


Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Kali ini saya akan membahas tentang persoalan yang selama ini masih begitu sulit untuk kita atasi. Masalah kerusakan lingkungan, seperti nya bukan hal yang asing lagi di telinga kita. Sebagai contoh Kerusakan lingkungan di indonesia yang cukup parah yaitu kebakaran hutan. Januari hingga Juli 2017, Riau saja mengalami kebakaran hutan seluas 1.052 hektar. Kebakaran hutan terparah terjadi di Rokan Hilir sebesar 281 hektar dan di Meranti 200 hektar. Wilayah Taman Nasional Tesso Nillo juga mengalami kebakaran.








Disisi lain, yang masih sering menjadi persoalan di Indonesia salah satunya yaitu banjir.
Longsor dan banjir bandang terjadi di wilayah Sentani, Jayapura pada tanggal 16 maret 2019 tahun lalu.



Dalam hal ini, manusia mempunyai tanggungjawab dalam menjaga alam yang telah Allah swt. Titipkan kepada kita. Manusia memang diberi kebebasan dalam mengelola bumi ini, namun semuanya harus dilaksanakan dalam kerangka tanggung jawab. Sehingga dengan demikian, manusia tidak
boleh secara semena-mena memperlakukan bumi ini dengan arogan. Sebab, segalanya akan dipertanggungjawabkan oleh yang memberi mandat (mustakhlif), yaitu Allah Swt.
Namun, ada hal yang perlu diteliti lebih jauh, sebenarnya, faktor apa yang paling dominan sehingga menjadikan proses pengurusan (istikhlaf) tersebut tidak sesuai dengan yang dikehendaki oleh Yang Maha Pemberi mandat? Apakah kerusakan lingkungan hidup sebagai akibat bencana alam yang terjadi secara alamiah, atau sebenarnya semuanya akibat dari perilaku manusia, baik langsung maupun tidak langsung? Seberapa besarkah dampak negatif
dari ketidakpedulian manusia terhadap kerusakan lingkungan?
Inilah beberapa hal yang ingin dijelaskan dalam tulisan ini. Dalam kaitan ini, Al-Qur'an menyatakan bahwa keberadaan manusia di bumi adalah sebagai khalīfah. Term khalifah yang makna hakikinya adalah "mengganti orang lain dalam suatu pekerjaan”, yang dimaksudkan adalah bahwa manusia telah dijadikan sebagai wakil Allah di muka bumi untuk mengatur, merawat, dan memelihara bumi ini sebagaimana yang dikehendaki oleh-Nya. Tugas ini dibebankan kepada manusia, karena manusialah satu-satunya makhluk Allah yang layak untuk mengemban amanat ini.
Secara umum, terjadinya degradasi lingkungan hidup (LH) ada dua penyebab yaitu penyebab yang bersifat langsung dan tidak langsung.
Faktor penyebab yang tidak langsung pada
kenyataannya merupakan penyebab yang sangat dominan terhadap kerusakan lingkungan. Artinya rusaknya ekosistem dalam hal ini manusia tidak memiliki peran, misalnya gunung meletus, gempa bumi, tsunami, dan lain-lain. Sedangkan yang bersifat langsung terbatas ulah manusia yang terpaksa mengeksploitasi lingkungan secara berlebihan karena desakan kebutuhan, keserakahan, atau mungkin kekurangsadaran akan pentingnya menjaga lingkungan misalnya menebang hutan secara illegal, membuang sampah sembarangan, membendung aliran sungai sehingga menciut, dan lain-lain.  Namun, jika kita analisis lebih jauh tentang ayat-ayat Al-Qur'an yang terkait dengan alam raya, maka akan ditemukan
penjelasan bahwa alam raya ini diciptakan dan diatur oleh Allah atas asas keseimbangan. Perjalanan alam raya selamanya tidak akan menyimpang dari ketetapan yang telah ditentukan.

Bahkan, Al-Qur'an juga menegaskan bahwa di balik keteraturan alam raya, ia ditundukkan (taskhr) untuk kepentingan manusia dalam rangka memenuhi kebutuhan dan juga keinginannya. Misalnya perjalanan matahari, pergantian malam dan siang, turunnya hujan, keberadaan gunung, laut, dan lain-lain. Atau dengan kata lain, ketika Al-Qur'an menjelaskan tentang hujan, pasti disertai dengan menyebutkan manfaatnya dan memang tidak ada satu ayat pun yang secara tegas menyatakan bahwa hujan akan menyebabkan banjir. Demikian ini, karena hujan merupakan kejadian alamiah biasa, sebagaimana musim kemarau.
Jika terjadi kerusakan alam atau penyimpangan alam dari ketentuan yang ada, termasuk bencana-bencana alam yang kita persepsikan sebagai fenomena alam semata, tentunya harus diyakini sebagai akibat dari perbuatan manusia, langsung maupun tidak langsung. Sebab, jika bencana alam dikatakan sebagai “fenomena alam yang terjadi secara alamiah”, justru ini tidak sesuai dengan ketentuan Allah atas alam semesta yang sejak awal telah ditetapkan untuk
kepentingan atau ditundukkan untuk memenuhi kebutuhan manusia. Begitu juga, jika bencana alam dikatakan sebagai "takdir Tuhan”, maka hal itu juga tidak sesuai dengan sifat Allah, terutama ar-Rahman dan ar-rahim.
Redaksi ini secara jelas menunjukkan bukti yang sangat kuat bahwa kerusakan lingkungan merupakan akibat ulah manusia.

Seperti dijelaskan dalam firman Allah Swt.
ظَهَرَ الۡفَسَادُ فِى الۡبَرِّ وَالۡبَحۡرِ بِمَا كَسَبَتۡ اَيۡدِى النَّاسِ لِيُذِيۡقَهُمۡ بَعۡضَ الَّذِىۡ عَمِلُوۡا لَعَلَّهُمۡ يَرۡجِعُوۡنَ

"Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar" (Ar-rum/30:41)

Meski begitu, redaksi tersebut dipahami oleh para ahli tafsir bukan menunjukkan perilaku manusia secara langsung dalam konteks kerusakan alam, seperti penebangan pohon secara illegal, membuang sampah sembarangan, pembuangan limbah industri yang tidak sesuai amdal, dan lain-lain, tetapi mengacu kepada
perilaku non fisik, seperti kemusyrikan, kefasikan, kemunafikan dan segala bentuk kemaksiatan. Artinya, penyimpangan akidah dan perilaku kemaksiatan itulah yang menjadi sebab terjadinya kerusakan lingkungan.

Dari penjelasan di atas, bisa disimpulkan bahwa terjadinya bencana pada hakikatnya adalah sebagai akibat dari rusaknya mentalitas atau moralitas manusia. Kerusakan mental inilah yang terkadang mendorong seseorang melakukan perilaku-perilaku yang destruktif, baik yang terkait langsung dengan
kerusakan alam, seperti illegal logging, mendirikan bangunan di tempat-tempat serapan air, membendung saluran air sungai sehingga menyempit, dan lain-lain; maupun tidak secara langsung, seperti korupsi, suap, penyalahgunaan jabatan, arogansi kekuasaan, kejahatan ekonomi, dan lain-lain.
Jika perilaku menyimpang yang tidak terkait langsung dengan kerusakan alam itu berlangsung secara massif dan membudaya, maka di sinilah Allah akan meresponnya, salah satunya, melalui bencana-bencana alam yang bersifat alamiah. Demikian ini sudah menjadi sunnah-Nya, sebagaimana yang terjadi pada
umat-umat masa lalu. Inilah yang diungkapkan sebagai
sunnatullah yang tidak pernah berubah dan diganti.
Manusia memang diberi kebebasan untuk mengeksplorasi alam demi memenuhi kebutuhannya. Namun, yang harus disadari adalah bahwa selamanya manusia tidak akan mampu melawan atau menundukkan keganasan alam. Justru yang harus
dilakukan adalah “bersahabat” dengan alam, baik secara langsung, seperti peduli dan menjaga lingkungan, maupun tidak langsung, seperti mengembangkan kebajikan kepada semua orang, berlaku jujur, adil, berani berkorban, dan lain-lain.

Oleh karenanya, jika terjadi kerusakan alam atau penyimpangan alam dari ketentuan yang ada, termasuk bencana-bencana alam yang kita persepsikan sebagai fenomena alam semata, tentunya harus diyakini sebagai akibat dari perbuatan manusia, langsung maupun tidak langsung. Jadi disini, kita sebagai makhluk-Nya, tidak hanya wajib menjaga alam di lingkungan saja, tetapi kita juga harus menjadi insan yang baik di muka bumi ini. Baik dari segi sikap, perilaku, ucapan, serta menjauhkan diri dari perbuatan-perbuatan syirik yang kemudian membuat Allah SWT. Marah.

Safe the earth :)

Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. 

Komentar